ISEN.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh sedang dalam tahap merevisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang mana akan mengizinkan bank konvensional kembali beroperasi di provinsi tersebut. Diketahui, pascapemberlakuan Qanun LKS, memang semua bank konvensional keluar dari Aceh.
Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) sekaligus Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono menilai akan lebih strategis dan bermakna jika Pemerintah Pusat mendorong inisiatif konversi bank BUMN konvensional menjadi bank syariah, dalam hal ini yaitu Bank BTN. Langkah progresif ini dilakukan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban BTN Syariah (UUS BTN) kepada Bank BTN yang kemudian melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank syariah.
"Langkah progresif membentuk bank BUMN syariah baru ini tidak hanya akan efektif menghadirkan kompetitor yang kredibel bagi BSI sehingga menjadi kebijakan afirmatif yang kuat dalam mendorong industri perbankan syariah, namun juga sekaligus mendorong pengembangan ekosistem industri keuangan syariah dan ekosistem industri halal," ujarnya kepada Republika, Rabu (24/5/2023).
BTN yang merupakan bank BUMN dengan aset terkecil, sangat potensial dikonversi menjadi bank syariah karena berspesialisasi pada pembiayaan perumahan yang sangat mendorong kemajuan sektor riil secara luas, selaras dengan semangat ekonomi syariah. Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu merincikan, dengan aset di kisaran Rp 360 triliun, konversi BTN akan segera meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah hingga menembus 10 persen.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA menyebut pemerintah Aceh sepakat atas rencana revisi Qanun LKS, dan secara khusus juga telah menyurati DPRA sejak Oktober 2022 lalu terkait peninjauan peraturan tersebut. Wacana perubahan tersebut merupakan aspirasi masyarakat terutama para pelaku dunia usaha apalagi dengan adanya kendala yang menimpa BSI baru-baru ini. Sampai saat ini, infrastruktur perbankan syariah di Aceh dinilai belum bisa menjawab dinamika dan problema sosial ekonomi, terutama berkenaan dengan realitas transaksi keuangan berskala nasional dan internasional bagi pelaku usaha.