ISEN.ID, JAKARTA -- Sektor keuangan syariah terbukti tangguh dan mampu bertahan dalam kondisi ketidakpastian perekonomian saat ini. Pada akhir November tahun 2022, total aset keuangan syariah mencapai Rp 2.312,72 triliun, tumbuh 15 persen dari tahun sebelumnya. Per November 2022, total aset pada sektor perbankan syariah mencapai Rp 756,30 triliun dan memiliki market share sebesar 6,8 persen.
Sementara untuk total aset pada pasar modal syariah termasuk saham syariah dan sukuk negara mencapai Rp 5.924,08 triliun dan memiliki market share sebesar 18,43 persen. Total aset pada sektor IKNB syariah mencapai Rp 143,97 triliun dan memiliki market share sebesar 4,69 persen.
"Meskipun menunjukkan tren yang positif, sektor keuangan syariah perlu memerhatikan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah," kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi, Otoritas Jasa Keungan (OJK), Aman Santosa , dalam Webinar Gebyar Safari Ramadhan 1444H yang pertama di tahun 2023 dengan tema “Investasi Hijau di Keuangan Syariah”, Jumat (24/3/2023).
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah sebesar 9,1 persen dan 12,12 persen. Walaupun indeks tersebut meningkat setiap tahunnya, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masih jauh di bawah indeks literasi keuangan nasional yang telah mencapai 49,68 persen dan 85,10 persen.
Oleh karenanya, OJK sedang berusaha untuk meningkatkan perkembangan keuangan hijau dan keuangan syariah di Indonesia. Dalam keuangan syariah, OJK telah merumuskan Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021 – 2025, Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2020 – 2025, Roadmap Pengembangan Pasar Modal Syariah 2020 – 2024. Selain itu, OJK juga sudah menyiapkan Pengembangan Industri Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 2020 – 2025.
"Dalam MPSJKI 2020 – 2025, pengembangan keuangan syariah Indonesia berfokus pada tiga hal pokok, yakni penguatan lembaga keuangan syariah, penciptaan demand keuangan syariah yang berkelanjutan, dan terbentuknya ekosistem keuangan syariah yang terintegrasi dengan industri halal," kata Aman.
Sementara dalam keuangan hijau, OJK telah merumuskan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (20212 – 2025) yang berfokus pada pengembangan penawaran dan permintaan, dalam sisi pengembangan penawaran. OJK, sambung Aman, menawarkan skema insentif, inovasi produk, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.
Sedangkan dalam sisi permintaan, OJK menggencarkan kampanye nasional keuangan hijau, berbagai dukungan program riil, dan sertifikasi green kepada perusahaan. Lebih lanjut, OJK juga mendukung program insentif baik kepada konsumen maupun institusi keuangan dalam sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank.
"Beberapa insentif tersebut merupakan insentif penurunan bobot risiko kredit (ATMR) perbankan, insentif diskon 50 persen tarif biaya pencatatan tahunan green bond oleh Bursa Efek Indonesia, dan relaksasi 50 persen bobot risiko penyaluran pembiayaan," ujarnya.
Sebagai dukungan terhadap pengembangan ekonomi hijau, OJK telah menerbitkan buku Taksonomi Hijau Indonesia (Indonesia Green Taxonomy) yang diluncurkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 silam. keberadaan Taksonomi Hijau Indonesia menjadikan Indonesia salah satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau, sebagaimana Tiongkok, Uni Eropa dan ASEAN.
Taksonomi Hijau yang tercakup dalam Sustainable Finance Tahap Kedua tahun 2021-2025 untuk sektor jasa keuangan akan menjadi pedoman bagi penyusunan kebijakan baik pemberian insentif maupun disinsentif dari berbagai Kementerian dan Lembaga, termasuk OJK. Penyusunan Taksonomi Hijau tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk memenuhi target Perjanjian Paris guna mengurangi emisi karbon hingga 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.