ISEN.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman menjelaskan bahwa implementasi spin off yang merupakan amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 meliputi dua opsi, yakni mendirikan perusahaan baru atau mengalihkan portofolio ke perusahaan asuransi syariah lainnya.
Menurut analisisnya, opsi mengalihkan portofolio ke perusahaan asuransi syariah lain lebih memiliki kendala yang besar dibandingkan dengan opsi mendirikan perusahaan asuransi syariah anyar. “Sebenarnya kalau bicara masalah kendala, lebih banyak kendala untuk yang pengalihan. Pengalihan lebih berat karena menitipkan sesuatu kepada orang yang belum tentu bisa atau mampu mengelola portofolio yang sudah ada di sebelumnya,” kata Erwin saat ditemui di sela-sela acara Sharia Insurance Convention and Awards (SICA) di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2024).
Sementara itu, opsi mendirikan perusahaan baru bagi unit usaha syariah dalam mengimplementasikan aturan spin off cenderung lebih mudah lantaran bisa mengontrol sendiri perusahaannya. Lebih lanjut, Erwin memaparkan plus minus atau kelebihan dan kekurangan dari praktek spin off, baik untuk opsi mendirikan perusahaan baru ataupun mengalihkan portofolio. Dia menyebut kedua-duanya memiliki poin plus dan minus-nya masing-masing.
“Kalau pendirian, itu tidak mudah dan tidak murah. Karena ada pemenuhan pihak-pihak utama atau key person, artinya mencari talent, yang boleh dikatakan cukup terbatas, tidak mudah bagi sebuah perusahaan untuk mendirikan entitas baru. Hitungan sederhana untuk mendirikan satu perusahaan baru asuransi syariah atau reasuransi syariah kurang lebih 12-18 orang minimum,” jelasnya.
Sementara itu, kendala pada opsi pengalihan portofolio, lanjut Erwin, kendalanya ada pada kesamaan izin produknya. Ibarat perjodohan, opsi tersebut tentu secara prinsip adalah menyatukan dua tubuh entitas menjadi satu.
“Pengalihan juga ada kendalanya, utamanya karena perusahaan yang akan mengalihkan ke perusahaan asuransi syariah yang sudah berdiri belum tentu memiliki izin produk yang sama, terutama mungkin di asuransi jiwa,” ujar dia.
Dia menyebut, pada asuransi umum rerata bersifat standar karena diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baik dari sisi polis, jaminan, maupun tarifnya. Misalnya pada asuransi kendaraan bermotor ataupun asuransi kebakaran, standarnya sama.
“Tapi di asuransi jiwa walau kata-katanya term life atau whole life, tapi dibaca di polis beda-beda. Atau mungkin ada yang pakai Paidi (produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi). Jadi kendalanya pada ketersediaan opsi untuk penampung,” terangnya.
Menurut catatan Erwin, ada sebanyak 42 unit syariah perusahaan syariah yang melakukan spin off, selambat-lambatnya hingga 31 Desember 2026. Dia menyebut, keseluruhan dari entitas asuransi syariah tersebut dipastikan melakukan spin off, baik dengan cara mendirikan perusahaan baru atau dengan mengalihkan portofolionya.
“AASI memandang kita tetap menjalani atau membantu semua anggota, baik yang mendirikan maupun mengalihkan portofolio, kita akomodir supaya teman-teman yang memilih opsi satu atau dua bisa terbantu,” tuturnya.
Diketahui, POJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang spin off Unit Usaha Syariah (UUS) diterbitkan OJK pada 12 Juli 2023 lalu. POJK UUS tersebut selaras dengan arah kebijakan OJK untuk membawa perbankan syariah yang sehat, efisien, berintegritas, berdaya saing, serta berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional dan pembangunan sosial.
Hal ini dapat dicapai antara lain melalui pengembangan dan penguatan perbankan syariah yang memiliki skala usaha yang lebih memadai, berorientasi pada diferensiasi dan keunikan bisnis, serta lebih berperan dalam pengembangan ekosistem ekonomi syariah.