ISEN.ID, JAKARTA -- Halal lifestyle atau gaya hidup halal kini tengah marak diadopsi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Dalam agama Islam, halal adalah sesuatu yang boleh dikonsumsi dan dilakukan oleh seorang muslim.
Gaya hidup halal ini pada akhirnya mendorong seorang muslim untuk menggunakan, mengonsumsi, dan menaruh minat pada produk-produk yang sudah dijamin halal sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Adanya pandemi Covid-19 dan aksi boikot yang dimulai akhir Oktober 2023 juga turut berdampak pada perubahan perilaku dan pola pembelian khususnya pada keluarga muslim.
“Dari tingkat survei literasi ekonomi syariah dan survei literasi keuangan syariah (BPS), sekarang sudah naik ke 28 persen. Itu tumbuh terus tuh, sebelum pandemi itu 16 persen Setelah pandemi, 28 persen. Berarti kan orang makin aware dan dalam survei ekonomi syariah itu ada tentang produk halal berarti semakin banyak yang aware dengan produk halal," kata Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah KNEKS Sutan Emir Hidayat saat ditemui di sela-sela Acara Muslim Life Fest di ICE BSD Tangerang, Jumat (30/8/2024).
Oleh karenanya, inovasi menjadi kunci utama untuk mendorong konsumsi yang mendukung seluruh ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, mulai dari sisi fesyen, makanan halal dan juga perbankan syariah.
“Saat ini memang terjadi pergeseran dan sebagian besar itu karena masyarakat sudah semakin sadar, tapi jangan jumawa dulu karena masih ada PR meningkatkan kita literasi yang targetnya 50 persen di 2025,” tegas Emir.
Berdasarkan survei Snapcart pada Mei 2024 lalu, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan pasar Barang Konsumsi Cepat Saji (FMCG) yang terbesar dan tumbuh paling cepat. Bahkan, dengan inflasi global yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir, pasar ini masih relatif kuat. Survei tersebut dilakukan kepada 1.590 responden yang terdiri dari 530 anak muda dari Gen Z & Milenial usia pada kisaran usia 28 – 29 tahun, 530 perempuan di usia lebih dari 30 tahun dan 530 laki-laki usia 30 tahun ke atas.
Peningkatan permintaan dan perubahan gaya hidup disebut-sebut sebagai beberapa pendorong utama pertumbuhan pasar, terutama setelah pandemi Covid-19. Sebanyak 78 persen konsumen Indonesia mengakui bahwa kebiasaan dan perilaku pembelian mereka telah berubah.
Perilaku dan pola pembelian masyarakat Indonesia, terutama keluarga muslim juga semakin mengalami perubahan usai adanya aksi boikot yang dimulai sekitar akhir Oktober 2023 hingga saat ini. Meski boikot jarang menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang, namun terbukti berhasil merusak reputasi dan citra merek perusahaan yang menjadi target.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Apriindo) Roy N Mandey, produk FMCG merupakan produk yang paling banyak terkena dampak dari aksi boikot ini. Sehingga tingkat penurunan omzet penjualan FMCG mencapai 40 persen.
Masih berdasarkan riset Snapcart, 46 persen dari masyarakat menyatakan akan ikut serta dalam aksi boikot, 51 persen di antaranya berpotensi melakukan aksi ini untuk sementara, sedangkan sisanya tidak akan menggunakan/mengonsumsi merek yang diboikot lagi selamanya karena sudah merasa nyaman dengan merek lain yang mereka gunakan sebagai substitusi di awal aksinya. Kemudian seebanyak 71 persen responden menyatakan bahwa alih-alih melakukan perpindahan merek, mereka justru berusaha mengurangi pembelian produk FMCG tertentu sebagai upaya untuk ikut dalam aksi boikot ini.
Berdasarkan survei tersebut sebanyak 26 persen masyarakat mengaku akan kembali menggunakan produk yang diduga terafiliasi dengan Israel bila konflik dua negara tersebut sudah berakhir dengan damai. Kemudian 18 persen masyarakat mengaku bersedia menggunakan kembali produk boikot jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa memberikan jaminan bahwa produk boikot tersebut halal.
“Meskipun makanan instan selalu menjadi produk terlaris di berbagai kategori FMCG, kami menemukan bahwa banyak orang juga berusaha mengurangi konsumsi makanan mereka sebagai upaya untuk ikut dalam aksi boikot ini,” tulis Snapcart dalam rilis surveinya dikutip Jumat (30/8/2024).
Hal ini pun dapat dilihat secara kasat mata dimana beberapa restoran cepat saji yang menjadi sasaran boikot menjadi lebih sering menawarkan diskon menarik dan bahkan melakukan re-branding untuk menarik kembali konsumen mereka. Dari hasil riset Snapcart juga ditemukan bahwa upaya tersebut hanya menarik 10 persen dari mereka untuk berhenti memboikot. Secara rincinya adalah sebanyak 7 persen masyarakat masih mau mengggunakan produk tersebut bila perusahaan berani melakukan rebranding dan 3 persen diantara responden mengaku tak masalah membeli produk boikot bila dengan harga murah atau mendapatkan diskon.
“Bahkan, mayoritas dari mereka (26 persen) mengatakan akan menggunakan merek yang diboikot lagi setelah konflik di Palestina berakhir dengan damai,” tulis Snapcart.