ISEN.ID, JAKARTA -- Halal lifestyle atau disebut juga dengan gaya hidup halal saat ini tengah menjadi tren global. Banyak negara-negara di berbagai belahan dunia tengah berupaya menerapkan sistem halal lifestyle dalam kehidupan sehari-hari, termasuk Indonesia yang sedang mengejar menjadi pusat industri halal di 2024.
Akmala (32 tahun), warga Pemalang Jawa Tengah mengaku, sudah lebih dari lima tahun mencoba untuk menerapkan halal lifestyle dalam kehidupan sehari-harinya. Meskipun belum secara penuh bisa menerapkan gaya hidup halal karena hingga kini, ia juga masih memakai beberapa produk yang konvensional.
"Semuanya memang dilakukan bertahap yang penting berprogres ke yang lebih baik dan sesuai. Yang terpenting bukan mengikuti viralnya saja atau sekadar rekomendasi bagus, tapi memang harus memastikan itu sesuai tidak. Sesuai yang prtma sama kebutuhan, kemudian memastikan produk yang dibutukan sesuai sama syariat atau tidak,” tutur Akmala saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.
Gaya hidup halal mengacu pada aktivitas sehari-hari yang sesuai dengan syariat Islam. Hal tersebut termasuk dalam hal keuangan. Perihal perencanaan keuangan, lanjut Akmala, kembali ke masing-masing individu dalam mengaturnya. Menurut dia, ketika seseorang memilih untuk berhijrah atau lepas dari produk konvensional sepenuhnya pun tidak bisa menjamin akan berdampak jadi lebih hemat dan lainnya.
"Itu kan semata hawa nafsu manusia ingin ini dan itu apalagi produk halal dan thoyib sekarang juga banyak,” ujarnya.
Saat ini, ibu dari satu anak itu lebih memilih untuk berinvestasi emas dan menyimpan tabungan secara pribadi. Ia pun dengan konsisten menghindari segala produk investasi lain yang menurutnya turunan riba.
“Lebih baik dihindari produk yang sifatnya samar atau syuhbat, sebagai bentuk kehati-hatian,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Ibu muda lainnya, Shinta yang sudah memilih berhijrah dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut dia, emas masih menjadi pilihan favorit untuk berinvestasi.
“Secara pribadi, aku investasinya hanya dengan membeli emas batangan secara tunai. Termasuk kalau membeli secara elektronik di Antam itu ternyata tidak halal juga karna emasnya tidak kita pegang fisiknya,” katanya.
Shinta pun mengaku, masih meragukan kehalalan berbagai bentuk produk-produk syariah yang tersedia di bank. Meskipun, sudah banyak bank syariah di Indonesia. Ia masih belum yakin pada peran regulatornya.
Shinta yang merupakan warga Tangerang, Banten, itu hingga kini masih menghindari segala bentuk produk diskon yang menggunakan alat bayar digital. Karena, ia meyakini sistem pembayaran digital masih belum terjamin kehalalannya.
“Aku ambil contoh untuk pembelian yang diskon kalau pakai e-money kan haram ya. Aku hindari, dampaknya kalau belanja tidak selalu dapat diskon,” katanya.
Chitra (33 tahun) warga Bogor, Jawa Barat, juga mengaku lebih memilih untuk berinvestasi emas. Meskipun sudah berhijrah sejak tahun 2018, Chitra mengaku masih menggunakan bank konvensional karena sistem pembayaran gaji di kantor suaminya belum ada pilihan ke bank syariah.
"Tapi aku juga pakainya sebagai alat transfer saja, jadi tidak terlalu banyak manfaatin produk bank konvensional," tuturnya.
Sementara untuk gaya hidup, Chitra masih berusaha untuk selalu konsisten menghindari segala macam bentuk produk, baik makanan maupun fesyen yang belum halal. Ibu satu anak itu mengaku, mendapatkan ketenangan dengan jalan hidup yang ia pilih tersebut.
"Ikhtiarnya sih selalu memastikan apa yang akan kami konsumsi jelas halal/haramnya, pun misalnya nih kami tahunya makanan itu belum ada sertifikat halal, ya aku lebih milih untuk tidak konsumsi itu. Karena masih banyak pilihan yang halal kan. Sabar di dunia insyaAllah berganti yang lebih baik. Selalu yakin itu sih," ujar Chitra.
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Oni Sahroni menjelaskan, menabung emas diperbolehkan selama emas yang dibeli tersebut ada dan jelas spesifikasinya serta bisa diserahterimakan, baik saat pembelian maupun penitipan. Contohnya, saat emas tersebut dibeli secara tunai, emasnya harus ada dan bisa diserahterimakan karena itu menjadi salah satu rukun jual beli.
Sebaliknya, membeli emas fiktif itu tidak diperbolehkan karena merugikan pembeli dan berbagai pihak.
"Saat emas tersebut diperjualbelikan secara daring dan tidak tunai (uang tunai dan emas diserahterimakan kemudian), harus jelas kriteria dan spesifikasinya (maushuf) agar sesuai dengan keinginan pembeli (terhindar dari gharar dan tidak merugikan)," katanya.
Saat diserahterimakan, emas yang sudah dimiliki tersebut itu harus mu'ayyan atau jelas wujudnya, seperti jenis karatnya, dan serinya; atau dalam bahasa fikih telah berubah dari maushuf menjadi mu'ayyan. Begitu pula, saat emas tersebut dititipkan oleh pemiliknya di bank syariah, jelas hak dan kewajibannya.
"Apakah jasa penitipan tersebut berbayar atau tidak, kapan dan bagaimana emas tersebut diserahterimakan, serta siapa yang bertanggung jawab atas biaya segregasi atau pemotongan (jika ada) dan biaya pengirimannya," ujarnya.