Kamis 31 Oct 2024 15:56 WIB

Kapitalisme Vs Ekonomi Syariah dan Implikasinya pada ESG

Sistem ekonomi Islam berpedoman pada syariah dan fiqih.

Rep: Eva Rianti   / Red: Gita Amanda
Profesor & Sharjah Chair in Islamic Law & Finance, Durham University, Habib Ahmed (dua dari kiri), Profesor from International Islamic University Malaysia (IIUM) Moh. Aslam Haneff (dua dari kanan), dan Researcher from Institute of Developing Economics, JETRO, Japan Miki Hamada (paling kanan) saat mengisi materi dalam International Seminar on Islamic Economy and Finance ISEF Bank Indonesia di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Foto:

Kapitalisme dan ekonomi syariah 

Habib menjelaskan sistem ekonomi yang paling dominan ada di dunia ini adalah kapitalisme yang lahir pada Zaman Pencerahan. Perspektifnya adalah neoliberal, dan salah satu yang menonjol dari era itu adalah bahwa agama dan etika disingkirkan dari wacana ekonomi. Konsep itu dinilai tidak sejalan dengan tujuan SDGs yang memiliki atensi pada manusia dan planet. 

“Jika Anda melihat wacana ekonomi konvensional, tidak ada diskusi tentang etika, dan tentu saja agama jelas bukan bagian darinya. Dalam sistem ini, kita melihat kerangka kerja yang tidak etis dimana modal memainkan peran yang sangat penting, itulah mengapa sistem ini disebut kapitalisme,” jelasnya. 

Habib menerangkan, modal adalah titik awal dan akhir dari kapitalisme, yang berfokus pada efisiensi. Sistem itu memang diakui dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menimbulkan ketimpangan ekonomi. 

“Sistem ini memiliki ciri-ciri efisiensi menciptakan pertumbuhan, tetapi sayangnya salah satu masalah utamanya adalah sistem ini menciptakan kekayaan yang sangat besar dengan banyak ketimpangan. Masalah lainnya, dalam proses pemaksimalan keuntungan dan efisiensi, kita melihat bahwa eksternalitas yang memengaruhi lingkungan tidak diperhitungkan dalam ekonomi,” ujar dia. 

Sistem itu, lanjut Habib berkonsep homo economicus. Yang mana, jika itu perusahaan, tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan. Jika itu konsumen, tujuannya adalah memaksimalkan utilitas. Baik individu, perusahaan, maupun proses produksi, menciptakan korporasi yang merupakan badan hukum. Lantas, ketika berbicara tentang badan hukum, tidak ada etika yang terlibat di dalamnya.

Habib mengkritisi tanpa adanya hukum yang diberlakukan kepada korporasi, segala nilai-nilai yang bernilai etika tidak akan dijalankan karena satu-satunya tujuan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan, dengan otomatis tidak ada pertimbangan etika. 

“Tentu saja sistem ini menciptakan pertumbuhan, tetapi juga menciptakan ketimpangan dan juga kerusakan lingkungan, yang pada dasarnya bertentangan dengan SDGs. Saya kira kita melihat bahwa ada masalah struktural dalam sistem dominan yang kita miliki di dunia saat ini,” tutur dia. 

Lantas, Habib mengungkapkan mengenai perspektif Islam mengenai sistem tersebut. Yang kemudian berlanjut pada bagaimana ekonomi syariah berperan lebih potensial dan prospektif ke depan, sejalan dengan SDGs. 

“Sistem ekonomi Islam tentu saja berpedoman pada syariah dan fiqih. Tujuan keseluruhan syariah ditonjolkan untuk pada dasarnya meningkatkan kesejahteraan manusia. Beberapa ulama syariah mengatakan bahwa jika ingin meringkas syariah dalam satu kalimat, maka syariah ada untuk meningkatkan maslahat dan mencegah bahaya maslahat,” kata Habib. 

Syariah disebut menyediakan prinsip-prinsip hukum dan etika untuk mencapai kemaslahatan. Habib menyebut ada banyak sekali nilai dan prinsip etika di dalam Alquran dan Sunnah yang disebut dengan maqashid asy-syariah

Berdasarkan pemahamannya, di dalam ekonomi Islam, konsep muamalah memiliki prinsip bahwa segala sesuatu diperbolehkan kecuali yang dilarang oleh syariah. Adapun mengenai larangan, jumlahnya sangat sedikit, misalnya larangan terhadap jual beli minuman keras atau khamr dan perjudian. 

“Jadi selama Anda mengecualikan barang-barang terlarang ini, yang kita miliki adalah ekonomi halal atau ekonomi Islam. Dalam hal transaksi, larangan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai riba dan gharar. Kita memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam hal etika,” kata Habib. 

Lebih lanjut, Habib mengatakan, konsep maqashid asy-syariah meliputi lima elemen, yakni agama, diri, kecerdasan, keturunan, dan kekayaan,. Itu menunjukkan bentuk sistem yang inklusif. 

Adapun konsep maqashid asy-syariah yang khusus untuk sistem ekonomi, ada lima maqashid yang terkait dengan ekonomi, yakni daya jual, transparansi, pelestarian, daya tahan, dan keadilan. 

“Jika berbicara tentang maqashid transaksi ekonomi, keadilan sangatlah penting. Jadi, dari maqashid transaksi ekonomi, satu hal yang dapat kita garis bawahi adalah bahwa jika berbicara tentang sistem ekonomi Islam, maka haruslah adil. Larangan Riba pada dasarnya adalah tentang keadilan komunikatif,” jelasnya. 

“Jadi intinya prinsip ekonomi Islam adalah harus inklusif dan harus adil,” tegasnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement